Puasa dan Nilai Kemanusiaan
PTKI Medan Community Forum :: The Cafe :: Religi :: islam
Halaman 1 dari 1
Puasa dan Nilai Kemanusiaan
Oleh Kautsar Azhari Noer
Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.
Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa adalah mencapai ketakwaan (QS, 2:183). Ketakwaan adalah memelihara diri dari segala yang membahayakan dan menyengsarakan hidup, dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ketakwaan dapat dipandang sebagai ukuran derajat kemanusiaan manusia. Semakin tinggi ketakwaan seseorang, semakin tinggi derajat kemanusiaannya. Manusia yang paling mulia di mata Tuhan adalah manusia yang paling tinggi ketakwaannya (Q 49:13). Ketakwaan dalam arti sebenarnya mencerminkan bukan hanya kesalehan individual, yang berguna untuk diri sendiri, tetapi juga melahirkan kesalehan sosial, yang berguna bagi orang banyak. Kesalehan individual sejati adalah daya penggerak kesalehan sosial. Kesalehan individual yang tak berguna untuk orang banyak bukan kesalehan sejati.
Kita dapat mengatakan bahwa manusia yang mulia di mata Tuhan adalah manusia yang saleh yang bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak. Orang yang tidak bermanfaat bagi orang banyak bukan orang saleh dan bukan pula orang bertakwa. Maka manfaat bagi orang banyak adalah ukuran atau bukti kebaikan, yang sekaligus adalah ukuran ketakwaan dan kesalehan. Nabi Muhammad mengatakan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi harus diingat bahwa semua perbuatan yang dilakukan untuk kesalehan harus disertai dengan niat untuk mengabdi kepada Tuhan. Jika suatu perbuatan tidak disertai niat untuk mengabdi kepada Tuhan, akan timbul godaan kuat untuk pamer diri (riya’).
Puasa yang berhasil mencapai tujuannya, yaitu ketakwaan, melahirkan sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kesabaran, ketabahan, kepedulian sosial, kedermawanan, kasih sayang, keramahan, dan toleransi. Ini adalah adalah sifat-sifat insani, yang berbeda dengan sifat-sifat hewani. Sifat-sifat insani mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Sebaliknya, sifat-sifat-hewani menjatuhkan derajat kemanusiaan kepada derajat kebinatangan. Dalam konteks itu, puasa dapat dipandang sebagai sebuah cara negatif (negative way): meniadakan sifat-sifat hewani atau sifat-sifat tercela. Puasa yang lebih tinggi kualitasnya bukan hanya menahan diri dari perbuatan yang membatalkannya, tetapi juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan tercela seperti: berbohong, menipu, memfitnah, bergunjing, smendengar yang tidak bermanfaat, melakukan kekerasan, menghina, dan mencaci-maki.
Menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang membatalkan, perbuatan-perbuatan tercela, dan segala sesuatu yang memalingkan diri dari menyaksikan Tuhan, adalah “cara negatif”: tidak melakukan makan, tidak minum, tidak bersetubuh, tidak berbohong, tidak menipu, tidak memfitnah, dan sebagainya. “Cara negatif” adalah sifat hakiki puasa. Karena itu, Ibn ‘Arabi (w. 1264), mengatakan bahwa puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan, bukan melakukan (tark la ‘amal). “Ciri negatif” inilah yang menghilangkan kemiripan (mitsliyyah) puasa dengan ibadah-ibadah lain. Allah, kata Ibn Arabi, meninggikan puasa dengan menafikan kemiripannya dengan ibadah lain. Ibn Arabi merujuk hadis, “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa tak memiliki kemiripan (lā mitsla lahu).”
Puasa sebagai cara negatif adalah suatu “beban yang diwajibkan” (maktūbah), yang berlawanan dengan fitrah manusia seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, dan marah ketika dicaci-maki. Puasa mengekang fitrah manusia. Puasa adalah “beban yang diwajibkan” untuk kehidupan asketik dalam kehidupan manusia. Tanpa unsur pengorbanan kepentingan diri (self-denial) dan asketisisme, tidak mungkin ada kehidupan spiritual. Seyyed Hossein Nasr, pemikir Sufi asal Iran, mengatakan bahwa orang harus adakalanya menarik diri dari kehidupan penuh dari indra-indra agar mampu menikmati buah tangkapan daya indrawi. Seperti dinyatakan dengan tegas oleh perkataan Taois, kata Nasr, ruang kosong rodalah yang membuatnya menjadi roda.
Puasa adalah pengosongan diri dari sifat-sifat hewani agar diri menjadi ruang bagi sifat-sifat insani. Apabila sifat-sifat hewani telah hilang dari diri orang yang berpuasa, maka yang tersisa dalam dirinya adalah sifat-sifat insani. Orang seperti ini akan menjadi orang jujur, sabar, peduli sosial, dermawan, ramah, dan toleran. Orang seperti ini tak akan melakukan penipuan dan mengambil yang bukan haknya. Orang seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Orang seperti ini tak akan mencaci-maki agama lain atau aliran lain karena itu akan menyakiti para penganutnya. Orang seperti ini tak akan melakukan kekerasan, meskipun atas nama kebenaran dan Tuhan.
Melalui puasa, para penganut agama-agama lain dan pengamal spiritualitas, sebagaimana kaum Muslim, dapat pula melakukan pembersihan diri dari sifat-sifat buruk dan penahanan diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.
Cara puasa Islam jelas berbeda dengan puasa Gandhi, tetapi keduanya mempunyai titik-temu: pengendalian diri. Kaum muslim tidak perlu meniru cara puasa Gandhi dan para penganut agama-agama lain. Yang penting bagi kaum muslim adalah agar puasa yang dilakukan mencapai tujuannya: ketakwaan. Apalagi ketika bangsa kita sedang besiap menghadapi pemilu 2009, ketakwaan sangat diperlukan, terutama bagi para pencari kursi kekuasaan, agar mampu mengendalikan diri dengan menjauhi perilaku yang tidak bermoral. Jadikanlah Nabi Muhammad sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan melalui jalur politik yang bermoral. Nabi Muhammad pernah berpolitik dan menjadi kepala negara di Madinah. Jangan kalah dengan Gandhi yang berjuang untuk keadilan dan kepentingan kemanusiaan melalui jalur politik yang bermoral.
Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.
Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa adalah mencapai ketakwaan (QS, 2:183). Ketakwaan adalah memelihara diri dari segala yang membahayakan dan menyengsarakan hidup, dengan melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ketakwaan dapat dipandang sebagai ukuran derajat kemanusiaan manusia. Semakin tinggi ketakwaan seseorang, semakin tinggi derajat kemanusiaannya. Manusia yang paling mulia di mata Tuhan adalah manusia yang paling tinggi ketakwaannya (Q 49:13). Ketakwaan dalam arti sebenarnya mencerminkan bukan hanya kesalehan individual, yang berguna untuk diri sendiri, tetapi juga melahirkan kesalehan sosial, yang berguna bagi orang banyak. Kesalehan individual sejati adalah daya penggerak kesalehan sosial. Kesalehan individual yang tak berguna untuk orang banyak bukan kesalehan sejati.
Kita dapat mengatakan bahwa manusia yang mulia di mata Tuhan adalah manusia yang saleh yang bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak. Orang yang tidak bermanfaat bagi orang banyak bukan orang saleh dan bukan pula orang bertakwa. Maka manfaat bagi orang banyak adalah ukuran atau bukti kebaikan, yang sekaligus adalah ukuran ketakwaan dan kesalehan. Nabi Muhammad mengatakan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi harus diingat bahwa semua perbuatan yang dilakukan untuk kesalehan harus disertai dengan niat untuk mengabdi kepada Tuhan. Jika suatu perbuatan tidak disertai niat untuk mengabdi kepada Tuhan, akan timbul godaan kuat untuk pamer diri (riya’).
Puasa yang berhasil mencapai tujuannya, yaitu ketakwaan, melahirkan sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kesabaran, ketabahan, kepedulian sosial, kedermawanan, kasih sayang, keramahan, dan toleransi. Ini adalah adalah sifat-sifat insani, yang berbeda dengan sifat-sifat hewani. Sifat-sifat insani mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Sebaliknya, sifat-sifat-hewani menjatuhkan derajat kemanusiaan kepada derajat kebinatangan. Dalam konteks itu, puasa dapat dipandang sebagai sebuah cara negatif (negative way): meniadakan sifat-sifat hewani atau sifat-sifat tercela. Puasa yang lebih tinggi kualitasnya bukan hanya menahan diri dari perbuatan yang membatalkannya, tetapi juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan tercela seperti: berbohong, menipu, memfitnah, bergunjing, smendengar yang tidak bermanfaat, melakukan kekerasan, menghina, dan mencaci-maki.
Menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang membatalkan, perbuatan-perbuatan tercela, dan segala sesuatu yang memalingkan diri dari menyaksikan Tuhan, adalah “cara negatif”: tidak melakukan makan, tidak minum, tidak bersetubuh, tidak berbohong, tidak menipu, tidak memfitnah, dan sebagainya. “Cara negatif” adalah sifat hakiki puasa. Karena itu, Ibn ‘Arabi (w. 1264), mengatakan bahwa puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan, bukan melakukan (tark la ‘amal). “Ciri negatif” inilah yang menghilangkan kemiripan (mitsliyyah) puasa dengan ibadah-ibadah lain. Allah, kata Ibn Arabi, meninggikan puasa dengan menafikan kemiripannya dengan ibadah lain. Ibn Arabi merujuk hadis, “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa tak memiliki kemiripan (lā mitsla lahu).”
Puasa sebagai cara negatif adalah suatu “beban yang diwajibkan” (maktūbah), yang berlawanan dengan fitrah manusia seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, dan marah ketika dicaci-maki. Puasa mengekang fitrah manusia. Puasa adalah “beban yang diwajibkan” untuk kehidupan asketik dalam kehidupan manusia. Tanpa unsur pengorbanan kepentingan diri (self-denial) dan asketisisme, tidak mungkin ada kehidupan spiritual. Seyyed Hossein Nasr, pemikir Sufi asal Iran, mengatakan bahwa orang harus adakalanya menarik diri dari kehidupan penuh dari indra-indra agar mampu menikmati buah tangkapan daya indrawi. Seperti dinyatakan dengan tegas oleh perkataan Taois, kata Nasr, ruang kosong rodalah yang membuatnya menjadi roda.
Puasa adalah pengosongan diri dari sifat-sifat hewani agar diri menjadi ruang bagi sifat-sifat insani. Apabila sifat-sifat hewani telah hilang dari diri orang yang berpuasa, maka yang tersisa dalam dirinya adalah sifat-sifat insani. Orang seperti ini akan menjadi orang jujur, sabar, peduli sosial, dermawan, ramah, dan toleran. Orang seperti ini tak akan melakukan penipuan dan mengambil yang bukan haknya. Orang seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Orang seperti ini tak akan mencaci-maki agama lain atau aliran lain karena itu akan menyakiti para penganutnya. Orang seperti ini tak akan melakukan kekerasan, meskipun atas nama kebenaran dan Tuhan.
Melalui puasa, para penganut agama-agama lain dan pengamal spiritualitas, sebagaimana kaum Muslim, dapat pula melakukan pembersihan diri dari sifat-sifat buruk dan penahanan diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Melalui puasa, kita mempunyai “titik-temu” untuk tujuan mulia kemanusiaan dengan menjauhi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pemimpin nasionalis Hindu, adalah salah satu contoh terbaik Hindu dalam melakukan puasa. Tokoh yang dikenal dengan sikap nir-kekerasan ini sering melakukan puasa, termasuk puasa untuk untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan. Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan.
Cara puasa Islam jelas berbeda dengan puasa Gandhi, tetapi keduanya mempunyai titik-temu: pengendalian diri. Kaum muslim tidak perlu meniru cara puasa Gandhi dan para penganut agama-agama lain. Yang penting bagi kaum muslim adalah agar puasa yang dilakukan mencapai tujuannya: ketakwaan. Apalagi ketika bangsa kita sedang besiap menghadapi pemilu 2009, ketakwaan sangat diperlukan, terutama bagi para pencari kursi kekuasaan, agar mampu mengendalikan diri dengan menjauhi perilaku yang tidak bermoral. Jadikanlah Nabi Muhammad sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan melalui jalur politik yang bermoral. Nabi Muhammad pernah berpolitik dan menjadi kepala negara di Madinah. Jangan kalah dengan Gandhi yang berjuang untuk keadilan dan kepentingan kemanusiaan melalui jalur politik yang bermoral.
bagus prasetia- Alumni
- Jumlah posting : 374
Location : di dasar neraka terdalam
Registration date : 24.07.08
PTKI Medan Community Forum :: The Cafe :: Religi :: islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik